BICARA: Sosok Ketua Tim Pilkada Pusat Partai Buruh, Said Salahudin - Foto Dok Istimewa |
RILISKALIMANTAN.COM, KALSEL– Keputusan kontroversi pembatalan pasangan calon (paslon) Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarbaru, H M Aditya Mufti Ariffin dan Habib Abdullah menjadi kabar panas dalam pegelaran Pilkada Banjarbaru 2024.
Putusan yang dibacakan langsung oleh Ketua KPU Banjarbaru, Dahtiar pada, Jumat (/11/2024) kemarin itu sontak mendapatkan respon dari berbagai pihak hingga spekulasi adanya skenario besar terkait calon tunggal oleh partai pengusung Aditya-Habib Abdullah.
Ketua Tim Pilkada Pusat Partai Buruh, Said Salahudin mengungkapkan pembatalan paslon Aditya-Habib Abdullah oleh KPU tidak sah. Keputusan itu patut diduga sebagai upaya rekayasa untuk memaksakan pilkada Kota Banjarbaru hanya diikuti paslon tunggal.
"Pilkada Kota Banjarbaru yang diikuti oleh dua paslon. Tetapi tiba-tiba saja KPU mengumumkan bahwa paslon nomor urut 2 didiskualifikasi karena adanya rekomendasi dari Bawaslu yang pada pokoknya menuding calon atas nama H M Aditya Mufti Ariffin memanfaatkan program pemerintah daerah untuk kepentingan pencalonan dirinya di pilkada," ujarnya.
Dirinya menegaskan bahwa tuduhan itu jelas tidak benar. Said mencium ada aroma rekayasa yang sepertinya sudah dirancang secara matang oleh pihak-pihak tertentu untuk membatalkan pencalonan Aditya.
"Targetnya tidak lain agar pilkada Kota Banjarbaru hanya diikuti oleh satu pasangan calon saja. Upaya penjegalan ini bahkan sudah diupayakan sejak tahap awal pencalonan," ungkapnya.
"Aditya ini memang masih menjabat sebagai Walikota Banjarbaru dengan status cuti di masa kampanye. Dia maju kembali di pilkada 2024 untuk periode kedua. Nah, posisinya sebagai petahana inilah yang coba dicari-cari kesalahannya," lanjutnya.
Sebagai partai pengusung pasangan Aditya Mufti Ariffin dan Habib Abdullah, Partai Buruh jelas tidak terima dengan skenario jahat semacam itu. Ia mengatakan pihak pengambil keputusan keliru dalam memahami pasal 71 ayat 3 dan ayat 5 yang disandarkan kepada Aditya.
Apabila dibaca secara teliti dengan kaca mata hukum, maka kedua norma itu pada pokoknya mengatur adanya larangan menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan bagi kepala daerah yang bertujuan menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Apabila kepala daerah yang melanggar larangan tersebut berstatus sebagai calon atau petahana, maka kepadanya dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU.
"Nah, pada kasus Aditya, peristiwa yang dituduhkan calon lawannya selaku pihak pelapor, terjadi sebelum ada pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU. Kalau begitu ceritanya, maka Pasal 73 ayat (3) tidak bisa dikenakan kepada Aditya selaku Wali Kota Banjarbaru karena pada saat itu belum ada pasangan calon. Aditya belum menjadi calon, lawannya pun belum menjadi calon," tegasnya.
Lebih lanjut, Said juga mempertanyakan paslon mana yang diuntungkan atau dirugikan atas kebijakan Aditya selaku Wali Kota Banjarbaru pada saat itu? Program pemerintah daerah tentu tidak boleh dihentikan hanya karena ada Pilkada.
"Kalau Aditya mengentikan program Pemko Banjarbaru yang menjadi tanggung jawabnya, maka justru dia salah karena hal itu dapat menyebabkan hak dan kepentingan rakyat menjadi dirugikan," jelasnya.
Sekedar informasi, Partai Buruh saat ini masih terus melakukan koordinasi dengan paslon nomor urut 2 dan partai-partai politik pengusung lainnya guna mengambil langkah-langkah hukum yang diperlukan, termasuk memproses anggota KPU dan Bawaslu dari tingkatan Kota Banjarbaru hingga Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), ke Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilu (DKPP).
"Sebagai penyusun Peraturan Kode Etik Penyelenggara Pemilu saya yakin sekali para penyelenggara pemilu di Kota Banjarbaru dan Provinsi Kalimantan Selatan akan mendapatkan sanksi tegas oleh DKPP. Kami juga akan bongkar aktor-aktor lain yang terlibat dalam kasus rekayasa ini," pungkasnya.
Penulis: H Faidur