BANGUNAN: Gedung Mahkamah Konstitusi - Foto Dok Istimewa |
RILISKALIMANTAN.COM, KALSEL – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus angka ambang batas sebagai syarat mengusung calon presiden dan wakil presiden. MK menilai adanya ambang batas hanya menguntungkan partai politik (parpol) tertentu.
Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan dalam sidang perkara 62/PUU-XXI/2023, Kamis (2/1/2025) di Gedung MK, Jakarta Pusat bahwa ambang batas hanya menguntungkan partai besar.
"Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar atau setidak-tidaknya memberi kentungan bagi partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR," katanya.
Saldi menyebut adanya ambang batas itu membuat masyarakat dibatasi menggunakan hak pilihnya. Sebab, tidak banyak alternatif pasangan calon yang bisa ditawarkan dengan aturan ambang batas tersebut.
"Oleh karena itu, Mahkamah perlu menempatkan dan sekaligus memberikan prioritas pada jaminan pemenuhan hak konstitusional warga negara (pemilih) untuk mendapatkan calon presiden dan wakil presiden yang lebih beragam melalui kontestasi yang fair dan terbuka yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," jelasnya.
MK menilai pemenuhan hak politik warga negara untuk memilih lebih penting dibanding untuk menyederhanakan partai politik. MK menilai tersedianya banyak alternatif pasangan calon yang beragam bisa dipahami sebagai upaya kedaulatan rakyat.
"Bahwa selanjutnya, dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat dua pasangan calon," ujarnya.
Saldi menuturkan adanya ambang batas itu membatasi pasangan calon yang bakal maju pemilu. Bahkan, menurutnya, ada kemungkinan pilpres ke depan hanya diikuti satu paslon.
"Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal," ucapnya.
"Kecenderungan demikian paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong," sambungnya.
Selanjutnya, MK menilai aturan ambang batas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta bertentangan dengan UUD NKRI Tahun 1945. Oleh karena itu, hal ini menjadi dasar MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.
"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," ungkapnya.
Oleh karena itu, MK menyarankan kepada DPR dan pemerintah dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017, untuk memperhatikan jika pengusulan pasangan calon tidak didasari lagi oleh ambang batas. Saldi mengatakan partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon, maka dapat dikenakan sanksi larangan ikut serta dalam Pilpres berikutnya.
"Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh parti politik atau, gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional," tuturnya.
"Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu," imbuhnya.
Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. MK menyatakan semua partai politik peserta pemilu memiliki kesempatan mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Suhartoyo.
Sumber: news.detik.com