Trending

Banjarbaru 26 Tahun: Membangun Kota yang Sadar Diri

Oleh: Novyandi Saputra - Pengurus PW GP Ansor Kalsel yang juga seorang seniman dan dosen. Sudah menetap lebih dari 15 tahun di Banjarbaru 

Setiap kota, sebagaimana manusia, hidup dalam lintasan waktu yang membentuk kepribadian dan arah tujuannya. Kota bukan sekadar tumpukan beton, jalan, dan gedung, melainkan ruang hidup yang menampung harapan, kenangan, dan cita-cita warganya. Kota lahir, tumbuh, dan berkembang melalui interaksi kompleks antara kebijakan, kebudayaan, dan kesadaran kolektif. Maka ketika Banjarbaru genap berusia 26 tahun, itu bukan hanya peringatan administratif, melainkan momen reflektif: sejauh mana kota ini telah menjadi dirinya sendiri? Dan ke mana ia akan berjalan? Atau dengan lebih sarkas saya mencoba bertanya; benarkah kota ini dibangun atas keinginan warganya? Atau dibangun atas dugaan pemerintahnya kepada warganya? 

Dua puluh enam tahun bukanlah angka yang kecil. Ia adalah penanda perjalanan sejarah yang telah ditempuh melalui berbagai dinamika: pembentukan wilayah, pemekaran administratif, transformasi sosial, dan desakan pembangunan. Di dalamnya terkandung ribuan peristiwa kecil dari lahirnya komunitas hingga dibangunnya infrastruktur publik yang semuanya menyusun mosaik wajah kota ini hari ini. Namun usia, sebagaimana pada manusia, tidak otomatis menjadikan kota lebih dewasa. Kedewasaan itu hadir ketika sebuah kota mampu memahami siapa dirinya, mengakui kekuatannya, mengevaluasi kekurangannya, dan dengan jujur menyusun masa depannya.

Banjarbaru, sebagai kota muda yang dulunya hanya pelengkap administratif dari Kabupaten Banjar, kini telah membuktikan dirinya sebagai pusat pertumbuhan baru di Kalimantan Selatan, bahkan dengan gagah bergelar ibukota provinsi. Namun pertumbuhan bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu masuk menuju kesadaran kota. Pertumbuhan tanpa arah akan menciptakan kota yang kehilangan jiwa; kota yang dibangun dengan tergesa, tanpa narasi, hanya akan melahirkan ruang-ruang tanpa makna.

Dalam refleksi ini, ada tiga gagasan kunci yang layak dijadikan pilar untuk menimbang arah Banjarbaru ke depan: slow living, anak muda, dan jenama kota. Ketiganya bukan sekadar jargon. Mereka adalah konsepsi filosofis yang jika dikelola dengan kesadaran dan komitmen bisa menjadi kerangka strategis dalam membangun kota yang tidak hanya tumbuh, tapi juga sadar akan siapa dirinya dan siapa warganya.

Slow living bukan berarti menolak kemajuan, melainkan mengatur ulang prioritas kota agar pembangunan selalu mengedepankan kualitas hidup manusia. Anak muda bukan hanya target populasi, melainkan pelaku perubahan dan sumber daya imajinatif yang tak boleh diabaikan. Sementara jenama kota bukan hanya simbol visual, tetapi identitas kolektif yang mengikat semua kebijakan dalam satu narasi yang konsisten.

Dengan menempatkan ketiga hal ini sebagai dasar, maka Banjarbaru tidak hanya akan menjadi kota yang modern dalam rupa, tetapi juga matang dalam jiwa. Inilah saatnya Banjarbaru membangun dirinya sebagai kota yang sadar diri, kota yang tahu mengapa ia ada, untuk siapa ia dibangun, dan nilai apa yang ingin ia perjuangkan di masa depan. 

Slow Living: Kota yang Mengizinkan Manusia Bernapas

Di tengah dunia yang dipacu oleh kecepatan, target, dan kompetisi tanpa henti, lahir sebuah kebutuhan mendesak untuk menata ulang cara hidup kita: sebuah kebutuhan untuk memperlambat, menyederhanakan, dan menemukan kembali makna dalam aktivitas sehari-hari. Inilah yang disebut sebagai slow living; bukan gaya hidup yang malas atau pasif, melainkan sebuah pilihan sadar untuk hidup lebih selaras dengan ritme tubuh, alam, dan komunitas. Dalam konteks ini, Banjarbaru baik secara geografis, atmosferik, maupun kultural memiliki potensi besar untuk menjadi kota pelopor slow living di Indonesia.

Dengan udara yang masih relatif bersih, tata kota yang belum semrawut, serta kedekatan dengan lanskap alam seperti hutan kota, rawa, dan pegunungan, Banjarbaru menyimpan modal ekologis dan spasial yang sangat langka di tengah pertumbuhan kota-kota besar lainnya yang kian sesak. Jalan-jalan yang tidak terlalu padat, suasana sosial yang lebih egaliter, dan akses terhadap ruang terbuka menjadikan kota ini tempat yang masih memungkinkan manusia untuk bernapas dengan utuh, baik secara fisik maupun emosional. Ini adalah anugerah, sekaligus tanggung jawab.

Namun slow living bukanlah ajakan untuk menolak perubahan atau menutup diri dari modernitas. Justru sebaliknya, ia menuntut pembangunan yang lebih berkesadaran dan berorientasi pada kualitas hidup manusia, bukan semata angka statistik ekonomi atau pencitraan visual infrastruktur. Kota yang tumbuh terlalu cepat, tanpa jeda reflektif, kerap kali mengorbankan kenyamanan warganya, menciptakan ketimpangan, dan mempercepat alienasi sosial. Kota seperti itu bisa tampak megah, namun kehilangan jiwanya.

Untuk itu, Banjarbaru perlu merumuskan ulang paradigma pembangunannya: dari yang sebelumnya berorientasi kecepatan dan kuantitas, menjadi pembangunan yang mempertimbangkan ritme hidup manusia, kesinambungan lingkungan, serta kohesi sosial. Misalnya, bagaimana tata ruang kota tidak hanya berfungsi sebagai zonasi, tetapi juga menciptakan ruang jeda taman kota, ruang interaksi publik, jalur pedestrian yang ramah lansia dan anak, serta ruang-ruang kontemplatif yang memperkuat keterhubungan warga dengan kotanya. Bukankah itu yang dirancang oleh Van Der Pilj ketika membangun Kota Banjarbaru?

Lebih jauh, slow living bisa menjadi narasi utama dalam membangun brand kota yang unik dan relevan di tengah dunia pasca-pandemi yang mulai mencari alternatif dari gaya hidup metropolis. Kota-kota masa depan bukan lagi tentang siapa yang paling cepat tumbuh, tetapi siapa yang paling manusiawi dalam pertumbuhannya. Dan Banjarbaru punya peluang emas untuk mengambil peran tersebut.

Sebagai sebuah pendekatan hidup dan arah kebijakan, slow living menempatkan manusia sebagai subjek utama dari pembangunan. Ia memuliakan waktu, merayakan keberagaman ritme hidup, dan menjadikan kota bukan sebagai mesin produksi kapital, melainkan sebagai ruang peradaban yang menumbuhkan kedamaian, kebersamaan, dan kebermaknaan. Inilah arah yang layak diperjuangkan oleh Banjarbaru ke depan: menjadi kota yang tidak hanya bergerak, tetapi juga mengizinkan manusia diam dan tumbuh dalam diam itu.

Anak Muda: Energi dan Imajinasi Kota

Setiap kota yang ingin bertahan, tumbuh, dan bertransformasi dalam pusaran zaman harus terlebih dahulu belajar satu hal fundamental: percaya pada anak mudanya. Tanpa kepercayaan ini, kota akan mudah terjebak dalam stagnasi, membangun infrastruktur fisik tanp memperhitungkan infrastruktur sosial dan kultural yang menopangnya. Di sinilah letak tantangan dan sekaligus peluang Banjarbaru. Kota ini memiliki generasi muda yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga sadar akan lingkungan, identitas lokal, dan pentingnya kolaborasi.

Anak muda Banjarbaru hari ini tidak tinggal diam menunggu peluang datang. Mereka menciptakan peluang itu sendiri dari ruang seni alternatif yang tumbuh mandiri di gang-gang perumahan, pasar mini kreatif yang menghidupkan kembali ruang publik, inisiatf kreatif di selasar-selasar coffeshop yang tersebar di Banjarbaru hingga inisiatif digital yang menjawab persoalan lokal dengan solusi berbasis teknologi dan komunitas. Mereka bukan hanya pengisi acara dalam perayaan seremoni, melainkan pelaku kultural dan agen perubahan yang bekerja dalam senyap, namun berdampak.

Namun semangat ini tidak akan bertahan lama jika kota tidak mampu menyediakan ekosistem yang ramah terhadap tumbuhnya imajinasi dan keberanian bereksperimen. Pembangunan kota yang hanya menyoal beton, ruas jalan, dan indikator ekonomi makro, tidak akan cukup menjawab tantangan zaman. Hari ini, yang dibutuhkan anak muda adalah ruang-ruang partisipasi, kepercayaan, dan pengakuan bahwa ide-ide baru, sekecil apa pun, layak untuk diberi tempat.

Banjarbaru bisa menjadi kota pembelajar yang memandang anak muda sebagai mitra pembangunan, bukan sekadar objek kebijakan. Ini berarti keterlibatan mereka tidak berhenti pada konsultasi simbolik, tetapi sampai pada level pengambilan keputusan. Anak muda harus diundang ke meja perencanaan kota, diberi kepercayaan memimpin proyek-proyek publik, dan difasilitasi untuk membangun laboratorium sosial tempat mereka bisa bereksperimen, gagal, belajar, dan bangkit kembali.

Lebih jauh, kota ini bisa membuka ruang belajar non-formal yang hidup: coworking space berbasis komunitas, maker space yang terjangkau, panggung terbuka untuk seniman jalanan, sampai ekosistem digital yang inklusif bagi pegiat teknologi lokal. Semua ini bukan hanya tentang "memberi ruang," tetapi tentang mengakui keberadaan dan kontribusi anak muda sebagai bagian dari narasi besar kota.

Karena pada dasarnya, kota yang kuat dan adaptif tidak hanya dibangun oleh pemerintah yang bekerja efektif, tetapi juga oleh warga yang berdaya, merasa memiliki, dan berani membayangkan masa depan ruang hidupnya sendiri. Dalam hal ini, anak muda bukan sekadar "masa depan kota", tetapi masa kini yang sudah hadir, bekerja, dan menanamkan visi baru bagi kota. Jika mereka diberi ruang dan kepercayaan, Banjarbaru tidak hanya akan menjadi kota yang bertahan, tetapi juga kota yang menginspirasi.

Jenama Kota: Identitas yang Menjaga Arah

Setiap kota yang ingin tumbuh secara berkelanjutan membutuhkan bukan hanya rencana tata ruang dan anggaran pembangunan, tetapi juga identitas yang kukuh dan narasi yang konsisten. Inilah yang dimaksud dengan jenama kota sebuah gagasan yang bukan semata slogan promosi, melainkan cerminan dari nilai-nilai, karakter, dan visi jangka panjang sebuah kota. Jenama kota adalah cara sebuah tempat berbicara kepada dunia tentang siapa dirinya dan mengapa ia penting untuk dihuni, dikunjungi, dan dicintai.

Banjarbaru, sebagai kota yang relatif muda, berada di persimpangan penting dalam membentuk dan mengukuhkan identitasnya. Sebutan “Kota Idaman" yang selama ini digaungkan, tentu telah membentuk semacam citra dasar di benak warganya. Namun pertanyaan pentingnya adalah: apakah jenama itu dirawat secara konsisten, dikembangkan berdasarkan aspirasi warga, dan diterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan nyata? Atau justru menjadi semacam topeng visual yang berganti setiap pergantian kepemimpinan?

Jika jenama kota hanya lahir dari kehendak politis jangka pendek, maka kota akan kehilangan arah dan kepercayaan publik. Yang lebih parah, ia akan menjadi kota yang tidak memiliki narasi yang berkesinambungan. Oleh karena itu, Banjarbaru perlu secara serius mengkonsolidasi jenama kotanya ke dalam peraturan yang melindungi narasi identitas tersebut dari intervensi kekuasaan sesaat, misalnya dengan merumuskan Peraturan Daerah tentang Jenama Kota yang disusun bersama warga, komunitas, akademisi, pelaku kreatif, dan pemerintah. 

Lebih dari itu, jenama kota tidak bisa hanya hidup dalam desain logo, baliho, atau jargon promosi wisata. Ia harus menyusup hingga ke dalam desain ruang publik, kurikulum pendidikan lokal, tata kelola pelayanan publik, hingga cara pemerintah menyambut dan melibatkan warganya. Kota yang sadar diri adalah kota yang membangun jenamanya dari bawah dari kehidupan keseharian warganya, bukan dari mimpi-mimpi elit yang jauh dari realitas sosial. 

Maka ketika Banjarbaru ingin dikenal sebagai kota dengan nilai-nilai slow living, inklusif terhadap anak muda, dan ramah terhadap keberagaman, narasi itu harus menjadi semacam kompas kebijakan. Jenama yang baik adalah jenama yang menjaga arah kota, menyaring keputusan, dan menginspirasi inovasi sosial. Ia bekerja bukan sebagai citra palsu, tetapi sebagai dasar etis dan imajinatif dalam pengambilan keputusan publik.

Dalam konteks ini, jenama kota harus dilihat sebagai bentuk keberanian kolektif: keberanian untuk berkata "inilah kami" dan untuk bertahan pada pilihan itu, bahkan ketika tren dunia berubah begitu cepat. Kota yang tidak memiliki jenama yang kokoh akan mudah kehilangan daya saing dan terseret dalam arus imitasi global yang membunuh karakter lokalnya sendiri.

Banjarbaru, Kota yang Sedang Mencari dan Menemukan Dirinya

Memasuki usia ke-26, Banjarbaru bukan lagi kota yang sekadar muda, melainkan kota yang menjadi dewasa. Kedewasaan itu ditandai bukan hanya dengan bertambahnya usia atau infrastruktur yang dibangun, melainkan dengan kematangan dalam memahami siapa dirinya, siapa warganya, dan masa depan seperti apa yang ingin direngkuhnya. Gagasan slow living, penguatan peran anak muda, dan konsistensi dalam jenama kota, bukanlah hal yang terpisah. Ketiganya adalah tiga simpul penting yang jika dirangkai, akan membentuk jalan menuju kota yang manusiawi, cerdas, dan berakar pada nilai-nilai lokal.

Banjarbaru memiliki peluang untuk menjadi kota yang berbeda. Bukan kota yang mengejar pertumbuhan semata, tetapi kota yang berani memilih untuk tumbuh dengan sadar. Kota yang memberi ruang untuk bernapas, untuk bermimpi, dan untuk membangun masa depan bersama-sama.

Harapan kita semua, semoga Banjarbaru ke depan tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga tempat hidup; tempat di mana warga merasa terhubung, dihargai, dan diberi ruang untuk berkembang sesuai dengan ritme dan jati dirinya masing-masing. Selamat ulang tahun, Banjarbaru. Semoga engkau tumbuh menjadi kota yang bukan hanya lebih besar, tapi juga lebih bijak.

Lebih baru Lebih lama